SEJARAH TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

Bookmark and Share
Orang bergerak untuk bertindak berdasarkan makna yang diberikan pada orang , benda, dan peristiwa. Makna-makna ini diciptakan dalam bahasa yang digunakan orang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri, atau pikiran pribadinya. Bahasa memungkinkan orang untuk mengembangkan perasaan mengenai diri dan untuk berinteraksi dengan orang lainnya dalam sebuah komunitas.


Sejarah Teori Interaksionisme Simbolik tidak bisa dilepaskan dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Mead dilahirkan di Hadley, satu kota kecil di Massachusetts. Karir Mead berawal saat beliau menjadi seorang professor di kampus Oberlin, Ohio, kemudian Mead berpindah pindah mengajar dari satu kampus ke kampus lain, sampai akhirnya saat beliau di undang untuk pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago oleh John Dewey. Di Chicago inilah Mead sebagai seseorang yang memiliki pemikiran yang original dan membuat catatan kontribusi kepada ilmu sosial dengan meluncurkan “the theoretical perspective” yang pada perkembangannya nanti menjadi cikal bakal “Teori Interaksi Simbolik”, dan sepanjang tahunnya, Mead dikenal sebagai ahli sosial psikologi untuk ilmu sosiologis. Mead menetap di Chicago selama 37 tahun, sampai beliau meninggal dunia pada tahun 1931 (Rogers. 1994: 166).

Semasa hidupnya Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mahzab Chicago, dimana memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial, maka aspek internal juga perlu untuk dikaji (West-Turner. 2008: 97). Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non verbal dan makna dari suatu pesan verbal, akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non verbal (seperti body language, gerak fisik, baju, status, dll) dan pesan verbal (seperti kata-kata, suara, dll) yang dimaknai berdasarkan kesepakatan bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu interaksi merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti yang sangat penting (a significant symbol).

Menurut Fitraza (2008), Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang diberikan oleh orang lain, demikian pula perilaku orang tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, maka kita dapat mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.

Selain Mead, telah banyak ilmuwan yang menggunakan pendekatan teori interaksi simbolik dimana teori ini memberikan pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia, dan banyak memberikan kontribusi intelektual, diantaranya John Dewey, Robert E. Park, William James, Charles Horton Cooley, Ernest Burgess, James Mark Baldwin (Rogers. 1994: 168).
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, dimana pada saat itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua Mahzab (School), dimana kedua mahzab tersebut berbeda dalam hal metodologi, yaitu (1) Mahzab Chicago (Chicago School) yang dipelopori oleh Herbert Blumer, dan (2) Mahzab Iowa (Iowa School) yang dipelopori oleh Manfred Kuhn dan Kimball Young (Rogers. 1994: 171).
Mahzab Chicago yang dipelopori oleh Herbert Blumer (pada tahun 1969 yang mencetuskan nama interaksi simbolik) dan mahasiswanya, Blumer melanjutkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mead. Blumer melakukan pendekatan kualitatif, dimana meyakini bahwa studi tentang manusia tidak bisa disamakan dengan studi terhadap benda mati, dan para pemikir yang ada di dalam mahzab Chicago banyak melakukan pendekatan interpretif berdasarkan rintisan pikiran George Harbert Mead (Ardianto. 2007: 135). Blumer beranggapan peneliti perlu meletakkan empatinya dengan pokok materi yang akan dikaji, berusaha memasuki pengalaman objek yang diteliti, dan berusaha untuk memahami nilai-nilai yang dimiliki dari tiap individu. Pendekatan ilmiah dari Mahzab Chicago menekankan pada riwayat hidup, studi kasus, buku harian (Diary), autobiografi, surat, interview tidak langsung, dan wawancara tidak terstruktur (Wibowo. 2007).

Mahzab Iowa dipelopori oleh Manford kuhn dan mahasiswanya (1950-1960an), dengan melakukan pendekatan kuantitatif, dimana kalangan ini banyak menganut tradisi epistemologi dan metodologi post-positivis (Ardianto. 2007: 135). Kuhn yakin bahwa konsep interaksi simbolik dapat dioprasionalisasi, dikuantifikasi, dan diuji. Mahzab ini mengembangkan beberapa cara pandang yang baru mengenai ”konsep diri” (West-Turner. 2008: 97-98). Kuhn berusaha mempertahankan prinsip-prinsip dasar kaum interaksionis, dimana Kuhn mengambil dua langkah cara pandang baru yang tidak terdapat pada teori sebelumnya, yaitu: (1) memperjelas konsep diri menjadi bentuk yang lebih kongkrit; (2) untuk mewujudkan hal yang pertama maka beliau menggunakan riset kuantitatif, yang pada akhirnya mengarah pada analisis mikroskopis (LittleJohn. 2005: 279). Kuhn merupakan orang yang bertanggung jawab atas teknik yang dikenal sebagai ”Tes sikap pribadi dengan dua puluh pertanyaan [the Twenty statement self-attitudes test (TST)]”. Tes sikap pribadi dengan dua puluh pertanyaan tersebut digunakan untuk mengukur berbagai aspek pribadi (LittleJohn. 2005: 281). Pada tahap ini terlihat jelas perbedaan antara Mahzab Chicago dengan Mahzab Iowa, karena hasil kerja Kuhn dan teman-temannya menjadi sangat berbeda jauh dari aliran interaksionisme simbolik. Kelemahan metode Kuhn ini dianggap tidak memadai untuk menyelidiki tingkah laku berdasarkan proses, yang merupakan elemen penting dalam interaksi. Akibatnya, sekelompok pengikut Kuhn beralih dan membuat Mahzab Iowa ”baru”.

Mahzab Iowa baru dipelopori oleh Carl Couch, dimana pendekatan yang dilakukan mengenai suatu studi tentang interaksi struktur tingkah laku yang terkoordinir, dengan menggunakan sederetan peristiwa yang direkam dengan rekaman video (video tape). Inti dari Mahzab ini dalam melaksanakan penelitian, melihat bagaimana interaksi dimulai (openings) dan berakhir (closings), yang kemudian melihat bagaimana perbedaan diselesaikan, dan bagaimana konsekuensi-konsekuensi yang tidak terantisipasi yang telah menghambat pencapaian tujuan-tujuan interaksi dapat dijelaskan. Satu catatan kecil bahwa prinsip-prinsip yang terisolasi ini, dapat menjadi dasar bagi sebuah teori interaksi simbolik yang terkekang di masa depan (LittleJohn. 2005: 283).

PENJELASAN TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).

Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, dimana merupakan salah satu perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat ”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan keangungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu, akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.

Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto. 2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka mengatakan bahwa individu adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.

Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 96), interaksi simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.

Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan bertujuan akhir untuk memediasi, serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136), Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
(1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,
(2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the-self) dan dunia luarnya, dan
(3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya.”Mind, Self and Society” merupakan karya George Harbert Mead yang paling terkenal (Mead. 1934 dalam West-Turner. 2008: 96), dimana dalam buku tersebut memfokuskan pada tiga tema konsep dan asumsi yang dibutuhkan untuk menyusun diskusi mengenai teori interaksi simbolik.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi simbolik antara lain:
1. Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
2. Pentingnya konsep mengenai diri,
3. Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk makna bagi perilaku manusia, dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya, sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretif oleh individu melalui proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama. Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969) dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:
1. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain kepada mereka,
2. Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
3. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri” atau ”Self-Concept”. Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan, menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008: 101), antara lain:
1. Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
2. Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.

Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara kebebasan individu dan masyarakat, dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya. Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:
1. Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
2. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Rangkuman dari hal-hal yang telah dibahas sebelumnya mengenai tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang berkaitan dengan interaksi simbolik, dan tujuh asumsi-asumsi karya Herbert Blumer (1969) adalah sebagai berikut:
Tiga tema konsep pemikiran Mead
• Pentingnya makna bagi perilaku manusia,
• Pentingnya konsep diri,
• Hubungan antara individu dengan masyarakat.

Tujuh asumsi karya Herbert Blumer
• Manusia bertindak terhadap orang lain berdasarkan makna yang diberikan orang lain pada mereka,
• Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia,
• Makna dimodifikasi melalui sebuah proses interpretif,
• Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain,
• Konsep diri memberikan sebuah motif penting untuk berperilaku,
• Orang dan kelompok-kelompok dipengaruhi oleh proses budaya dan sosial,
• Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

IMPLIKASI DALAM ILMU/TEORI DAN METODOLOGI

Implikasi dari teori interaksi simbolik dapat dijelaskan dari beberapa teori atau ilmu dan metodologi berikut ini, antara lain:

Teori sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis Abraham (1982) dalam Soeprapto (2007), dimana teori ini menjabarkan interaksi simbolik sebagai perspektif yang bersifat sosial-psikologis. Teori sosiologikal modern menekankan pada struktur sosial, bentuk konkret dari perilaku individu, bersifat dugaan, pembentukan sifat-sifat batin, dan menekankan pada interaksi simbolik yang memfokuskan diri pada hakekat interaksi. Teori sosiologikal modern juga mengamati pola-pola yang dinamis dari suatu tindakan yang dilakukan oleh hubungan sosial, dan menjadikan interaksi itu sebagai unit utama analisis, serta meletakkan sikap-sikap dari individu yang diamati sebagai latar belakang analisis.

Perspektif interaksional (Interactionist perspective) merupakan salah satu implikasi lain dari interaksi simbolik, dimana dalam mempelajari interaksi sosial yang ada perlu digunakan pendekatan tertentu, yang lebih kita kenal sebagai perspektif interaksional (Hendariningrum. 2009). Perspektif ini menekankan pada pendekatan untuk mempelajari lebih jauh dari interaksi sosial masyarakat, dan mengacu dari penggunaan simbol-simbol yang pada akhirnya akan dimaknai secara kesepakan bersama oleh masyarakat dalam interaksi sosial mereka.

Konsep definisi situasi (the definition of the situation) merupakan implikasi dari konsep interaksi simbolik mengenai interaksi sosial yang dikemukakan oleh William Isac Thomas (1968) dalam Hendariningrum (2009). Konsep definisi situasi merupakan perbaikan dari pandangan yang mengatakan bahwa interaksi manusia merupakan pemberian tanggapan (response) terhadap rangsangan (stimulus) secara langsung. Konsep definisi situasi mengganggap bahwa setiap individu dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan dari luar, maka perilaku dari individu tersebut didahului dari suatu tahap pertimbangan-pertimbangan tertentu, dimana rangsangan dari luar tidak ”langsung ditelan mentah-mentah”, tetapi perlu dilakukan proses selektif atau proses penafsiran situasi yang pada akhirnya individu tersebut akan memberi makna terhadap rangsangan yang diterimanya.

Konstruksi sosial (Social construction) merupakan implikasi berikutnya dari interaksi simbolik yang merupakan buah karya Alfred Schutz, Peter Berger, dan Thomas Luckmann, dimana konstruksi sosial melihat individu yang melakukan proses komunikasi untuk menafsirkan peristiwa dan membagi penafsiran-penafsiran tersebut dengan orang lain, dan realitas dibangun secara sosial melalui komunikasi (LittleJohn. 2005: 308).

Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead (West-Turner 2008: 105). dimana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.

Teori diri (Self theory) dalam sudut pandang konsep diri, merupakan bentuk kepedulian dari Ron HarrÄ›, dimana diri dikonstruksikan oleh sebuah teori pribadi (diri). Artinya, individu dalam belajar untuk memahami diri dengan menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang tentang diri sebagai person merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan-gagasan tentang personhood yang diungkapkan melalui proses komunikasi (LittleJohn. 2005: 311).
Teori dramatisme (Dramatism theory) merupakan implikasi yang terakhir yang akan dipaparkan oleh penulis, dimana teori dramatisme ini merupakan teori komunikasi yang dipengaruhi oleh interaksi simbolik, dan tokoh yang menggemukakan teori ini adalah Kenneth Burke (1968). Teori ini memfokuskan pada diri dalam suatu peristiwa yang ada dengan menggunakan simbol komunikasi. Dramatisme memandang manusia sebagai tokoh yang sedang memainkan peran mereka, dan proses komunikasi atau penggunaan pesan dianggap sebagai perilaku yang pada akhirnya membentuk cerita tertentu (Ardianto. 2007: 148).


KAJIAN TERHADAP KASUS AKTUAL

Kajian kasus aktual teori interaksi simbolik adalah mengambil contoh “SBY bersama Boediono (SBY Berbudi)”, dimana dua tokoh ini akan menjadi satu dari tiga kandidat calon presiden dan wakil presiden RI periode 2009-2014. Alasan penulis untuk memilih contoh ini adalah menanggapi dikotomi-dikotomi yang berkembang dimasyarakat sejak dulu, dimana ada dikotomi menggunakan simbol-simbol yang mengatakan bahwa calon presiden RI harus dari jawa, atau calon presiden dan wakil presiden berasal dari dua latar belakang yang berbeda, seperti: jawa dan non jawa, sipil dan militer, serta lain sebagainya.

Namun sejak pemilihan Boediono oleh SBY sebagai calon pendampingnya menjelang pemilihan presiden RI mendatang, terlihat banyak kontroversi di tengah komunikasi politik yang berkembang, antara lain: penolakan partai-partai islam dan 23 partai yang menjadi koalisi partai demokrat, anggapan Boediono sebagai antek kapitalis yang pro barat, anggapan SBY yang tidak mencerminkan nusantara, karena memilih wakil presidennya dari satu provinsi yang sama, seolah-olah tidak mampu mencerminkan kebhineka-an, dan banyak lagi kontroversi lainnya.

Penulis beranggapan bahwa di zaman modern saat ini, sudah tidak tepat lagi, jika kita masih terlalu sempit memandang kepemimpinan itu berdasarkan dikotomi-dikotomi yang ada sejak dulu. SBY menunjukkan bahwa sudah perlu adanya ”pergeseran” saat ini, bahwa simbol-simbol yang ada dari dikotomi selama ini, sudah waktunya mengalami perubahan, dan masyarakat perlu mendapatkan pendidikan politik yang baik, dimana sudah tidak tepat lagi untuk menilai kepemimpinan dari pandangan yang sempit. Kepemimpinan bukan lagi dilihat berdasarkan dikotomi lama, tapi haruslah dilihat dari segala aspek yang kompleks dan kapabilitas seseorang itu tanpa memandang asal-usul budayanya. Untuk menjadi negara yang maju, sudah waktunya kita keluar dari ”Safety box” yang selama ini ternyata membelenggu, bahkan menyebabkan bangsa ini hanya jalan di tempat.

Contoh ini menunjukkan bahwa dalam proses komunikasi individu di tengah interaksi masyarakat, untuk membentuk suatu makna berdasarkan kesepakatan bersama, tidak lagi mengganggap bahwa makna yang selama ini telah terbentuk itu bersifat sakral.
SBY menunjukkan bahwa pemahaman makna bisa bergeser atau mengalami perubahan sesuai dengan zamannya, terhadap dikotomi-dikotomi yang menggunakan simbol-simbol tersebut, proses pergeseran makna melalui simbol-simbol dilakukan di tengah interaksi masyarakat, dengan tujuan untuk membentuk pemaknaan yang baru yang dapat disepakati secara bersama di tengah masyarakat.

KRITIK TERHADAP TEORI INTERAKSI SIMBOLIK

Kritik terhadap teori interaksi simbolik ada beberapa hal, diantaranya :
Interaksi simbolik memiliki banyak implikasi-implikasi, sehingga teori ini paling sulit untuk disimpulkan. Teori interaksi simbolik berasal dari berbagai sumber, teori, ilmu, metodologi dan lain sebagainya, tetapi tidak ada satupun sumber yang dapat memberikan pernyataan tunggal mengenai isi dari teori ini, kecuali dalam satu hal yaitu, ide dasar teori ini bersifat menentang behaviorisme radikal yang dipelopori oleh J. B. Waston. Behaviorisme radikal berpendirian bahwa segala perilaku tiap individu di tengah interaksi masyarakat adalah sesuatu yang dapat diamati.

Interaksi simbolik tidak dianggap cukup heuristik (pemaparan melalui proses pertanyaan-pertanyaan dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara sistematis), sehingga memunculkan sedikit hipotesis yang bisa diuji dan pemahaman yang minim.
Para peneliti interaksi simbolik dianggap kurang terlibat dalam suatu proses penelitian, sehingga dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari observasi, dimana pada akhirnya akan menyulitkan si-peneliti dalam melakukan revisi dan elaborasi.
Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun mengabaikan variabel-variabel penjelas yang sebenarnya cukup penting, seperti emosi individu yang diteliti.

Intraksi simbolik berhubungan dengan organisasi sosial kemasyarakatan, dimana organisasi sosial atau struktur menghilangkan prerogatif individu. Struktur sosial umumnya menyangkut dengan masalah kekuasaan, dimana beberapa kelompok memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lain dalam mendefinisikan suatu situasi yang ada, tetapi sekali lagi, para interaksionis tidak mau mengakui adanya ketidaksamaan kekuasan tersebut.
Interaksi simbolik bukanlah suatu teori yang utuh karena memiliki banyak versi, dimana konsep-konsep yang ada, tidak digunakan secara konsisten. Dan pada akhirnya berdampak pada konsep-konsep seperti I, Me, Self, Role, dan lain sebagainya menjadi bias dan kabur (tidak jelas).

Interaksi simbolik menanggapi sebuah inkonsistensi yang melibatkan masalah determinisme, dimana individu tidak memiliki banyak pilihan kecuali memandang dunia dengan cara yang sudah ditentukan, padahal dalam realitas sebenarnya, manusia bebas untuk memilih setiap pilihannya secara aktif, dan independen, serta pada akhirnya individu akan menseleksi setiap pilihan yang terbaik untuk dirinya, tanpa dibatasi oleh aturan yang mengikat.
Inilah beberapa kritik terhadap teori interaksi simbolik yang dapat disampaikan penulis, berdasarkan pemahaman tentang teori ini.

KESIMPULAN

Kesimpulan penulis terhadap teori interaksi simbolik, dimana manusia atau individu hidup dalam suatu lingkungan yang dipenuhi oleh simbol-simbol. Tiap individu yang hidup akan memberikan tanggapan terhadap simbol-simbol yang ada, seperti penilaian individu menanggapi suatu rangsangan (stimulus) dari suatu yang bersifat fisik. Pemahaman individu terhadap simbol-simbol merupakan suatu hasil pembelajaran dalam berinteraksi di tengah masyarakat, dengan cara mengkomunikasikan simbol-simbol yang ada disekitar mereka, baik secara verbal maupun perilaku non verbal. Pada akhirnya, proses kemampuan berkomunikasi, belajar, serta memahami suatu makna di balik simbol-simbol yang ada, menjadi keistimewaan tersendiri bagi manusia dibandingkan mahluk hidup lainnya (binatang). Kemampuan manusia inilah yang menjadi pokok perhatian dari analisis sosiologi dari teori interaksi simbolik.
Ciri khas dari teori interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-simbol, interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling memahami maksud dan tindakan masing-masing, untuk mencapai kesepakatan bersama.


DAFTAR PUSTAKA 

Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju.
Kam. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1.Jakarta: Balai Pustaka.
LittleJohn, Stephen W. 2005. Theories of Human Communication – Fifth Edition. Terjemahan edisi Indonesia 1 (Chapter 1-9), dan edisi Indonesia 2 (Chapter 10-16).
Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York:The Free Press.
West, Richard dan Lynn H. Turner. 2008. Pengantar teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Buku 1 edisi ke-3. Terjemahan. Maria Natalia
Damayanti Maer. Jakarta: Salemba Humanika.

SUMBER INTERNET:
Fitraza, Vicky. 2008. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory). Psychopreneurship – blog kumpulan teori psikologi. Melalui http://psynetpreneur.blogspot.com/2008/08/teori-interaksi-simbolis-symbolic.html [08/09/2008]
Hendariningrum, Retno dan Dewi Novianti. 2009. Bab 5: Interaksi Sosial.
Pengantar sosiologi. Melalui http://pengantar-sosiologi.blogspot.Com/2009/04/bab-5-interaksi-sosial.html [04/13/2009]
Soeprapto, Riyadi. 2007. Teori Interaksi Simbolik. Averroes Community - Membangun Wacana Kritis Rakyat. Melalui http://www.averroes.or.id/research/teori-interaksionisme-simbolik .html [12/12/2007]
Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2007. Teori Interaksionisme Simbolik. Melalui http://indiwan.blogspot.com/2007/08/teori-interaksionisme-
simbolik.html [08/15/2007]

Artikel Lain-nya

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Powered by Blogger.